Monday 21 March 2011

Janji Angga

Sesosok lelaki dengan postur badan sempurna, berkulit putih dan berkemeja hitam menghampiriku. “Sweety, want to have lunch with me?”

“Sure, Joe.”

Dia tersenyum. Ku lingkari tanganku di pergelangan tangannya. Kami beranjak dari meja kantor ke sebuah café kecil yang ada di seberang. Setibanya disana kami duduk di bangku dekat jendela. Suasana terlihat ramai mengingat saat ini adalah jam makan siang untuk para pegawai.

“Mau pesan apa?”tanyaku.

“Let me see. Hmm, aku laper banget hari ini. Aku pesan nasi goreng spesial, kentang goreng, dan salad. Minumnya milk shake aja.”katanya pada pelayan yang sedang mencatat.

“How about you?”lanjutnya.

Aku memandangi daftar makanan yang ada di list menu. “Sepertinya aku gak lapar. Aku pesan sandwich yang ini sama lemon tea aja.”kataku sambil menunjuk salah satu gambar sandwich yang ada di menu.

“Are you sure you’re not hungry?”tanya Joe lagi.

Aku mengangguk. Selesai mencatat, si waiter pergi sambil mengambil kembali daftar menu yang ku pegang.

Joe mengangkat bahunya. “You know what? Deep inside, I really worried about you.”

“Me?”

Dia menghembuskan nafas beratnya. “Kenapa nggak nafsu makan?”katanya dengan nada lembut.

Ku layangkan pandanganku ke tempat lain. “Bukannya aku memang selalu nggak nafsu makan ya?”

“Ohya? Mungkin aku yang tak terlalu memperhatikanmu.”

“Kau selalu memperhatikanku setiap hari, Joe.”

“Karena itulah aku tanya. Kenapa? Stres?”

Aku menggeleng. “Entahlah.”

Joe melipat kedua tangannya di depan dada sambil memandangiku lekat-lekat. “Kita bersahabat udah berapa tahun?”

Aku mulai menghitung. “Sepertinya dua tahun.”

“Tepatnya dua tahun lima bulan. Dan aku belum tahu juga kau sebenarnya seperti apa.”

“Memang seharusnya aku seperti apa?”

Joe menutup menutup mulutnya seketika pelayan datang sambil mengantarkan pesanan kami. “Thank you.” Lelaki itu tersenyum, lalu ia pergi. “Well, sampai dimana kita?”

“Memangnyya aku harus seperti apa?”

Joe memicingkan matanya sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Sambil mengunyah ia berkata, “Kau wanita yang tak lazim yang aku kenal.”

Aku menyedot lemon tea-ku. “Maksudmu?”

“Kau terlalu penutup, May. Itulah sebabnya aku belum sepenuhnya memahamimu. Kau tak pernah menceritakan masa lalumu padaku. Kau bahkan tidak punya pacar. Apa kau sedang menunggu seseorang? Menungguku mungkin?”

Aku tersenyum. “Thanks for entertain me.”

“Haha. Any thing for you, sweetheart. So, can’t you tell me what’s going on?”

Ku kunyah sepotong sandwich yang ada dihadapanku sampai berukuran setengah. “Nothing. Trust me, Joe.”

Ia memicingkan mata lagi. “You know I never believe in you.”

Aku kembali dalam diam. Seketika pikiranku melayang pada masa lalu. Benar kata Joe. Aku terlalu penutup. Tapi sejak kapan aku jadi seorang yang penutup? Setahuku, dulu aku tipe cewek yang ceria dan biasa saja. Tidak dingin dan cuek seperti sekarang. Masa lalu memang bisa mengubah semuanya.

“Heloo! Any body there?”Joe mlambai-lambaikan telapak tangannya di depanku.

Aku sadar dari lamunanku. “Ya?”

“Right.”katanya dengan nada kesal.

“Sorry.”aku mulai menyesal.

Tapi Joe tak menjawab. Sepertinya moodnya berubah. Dasar anak-anak, pikirku. “Alright, what do you want?”

“What do I want? Bukannya terbalik?”katanya ketus.

Aku menghembuskan nafas lagi. “Okay. Let me tell you something.”

Joe mendengar dengan sabar. “I’m waiting.”

“Honestly, I don’t know why. I think, the past is haunting for me now…”

Hening. Satu, dua tiga detik berlalu. Rasanya masih berat menceritakan masa lalu yang amat-amat pahit itu padanya. Dan mungkin ini kali pertama aku menceritakan tentang masa laluku selama ini.

“I don’t understand, May.”Joe mulai bersuara.

Ku habiskan sepotong sandwichku lagi. Aku agak ragu untuk menceritakan masa laluku yang buram padanya. Tapi kenapa aku harus ragu? Joe bukan tipe pria yang selalu membocorkan rahasia pada orang. Lagipula, Joe adalah sahabatku.

“Dulu, aku pernah disakiti.”akhirnya aku berbicara.

“Oleh?”

“Joe, I really want to tell you. But, I won’t let you know who is he. Do you mind?”

Joe menggeleng. “Go on.”

“Hmm, ya. Sebenarnya, aku juga yang terlalu bodoh. Aku terlalu banyak menaruh harapan padanya. Padahal dia bukan tipe lelaki yang perhatian sepertimu. Tapi, entahlah. Baru kali itu rasanya aku terobsesi dengan seorang pria. Lalu dia dengan gampangnya pergi meninggalkanku untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Dan teganya dirinya saat sebelum ia pergi, ia mengatakan bahwa dia akan menikahi gadis lain.”

Joe menatapku dalam. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi aku tak peduli. Tanpa dirasa air mataku jatuh. Aku lalu dengan cepat menghapusnya.

“Aku memang bukan siapa-siapa untuknya. Pacar bukan, saudara bukan. Tapi aku yang terlalu bodoh. Kami begitu dekat. Ku pikir, dia mempunya perasaan yang spesial terhadapku. Tapi ternyata, dia menikahi gadis lain. Bodohnya aku.”

Perlahan kurasakan sesuatu menggenggamku, erat sekali.

“Please, don’t. Lelaki sepertinya tak pantas kau tangisi”.

Namun aku masih saja menangis. Sesuatu mendorongku untuk terus dan terus meluapkan semuanya. Tak peduli aku sedang berada dimana.

“Masa lalu memang indah, tapi kejam.”katanya lagi.

Aku masih menangis. Tapi sebisa mungkin ku kuatkan hatiku untuk tidak memikirkan masa laluku lagi. Tiba-tiba saja perasaan damai menyelimutiku. Joe terus saja menggenggam tanganku. Mata Joe, mata itu. Rasanya aku mengenal sekali siapa yang ada di baliknya. Ya, seorang Joe. Seorang sahabat yang pintar untuk menenangkan hatiku dalam situasi apapun. Beruntungnya aku mempunyai sahabat sepertinya. Masa lalu yang kelam itu tiba-tiba saja pergi dari pikiranku. Aku tersenyum.

“May,”

Aku menoleh. “Hm?”

“I love you.”

“Bu?”

“Ya?”

“Ternyata dia masih ingat denganku. Ingin sekali aku menonjok diriku sendiri yang sudah membuatnya sedih dan menangis. Tersiksa selama bertahun-tahun karena aku. Diriku yang sangat-sangat tidak bertanggung jawab.”

“Sudahlah. Penyesalan selalu datang belakangan. Makanya, jangan mengulanginya lagi.”

“Iya, Bu. Aku janji. Aku sangat-sangat menyesal telah meninggalkannya sendiri dan bersama dengan Keyla.”

“Jangan menyesali masa-masamu dengan Keyla. Bagaimanapun juga, dia tidak salah. Sudahlah. Buatlah Keyla tenang di alam sana. Jangan membuatnya menyesal juga. Sejauh ini, Ibu yakin dia juga pasti bahagia melihatmu yang sudah kembali ceria seperti dulu. Jangan kau rusak lagi segalanya.”

“I won’t. Lalu, haruskah ku katakan yang sejujurnya padanya? Menceritakan dari awal kenapa aku meninggalkannya?”

“Sepertinya tidak. Itu berarti kau harus mengulang segalanya. Jadilah Joe, bukan Angga. Ingat, dirimu hanya satu. Kau menjadi seorang Joe, bukan karena menutupi kesalahanmu. Tapi menambalnya dan membuatnya menjadi lebih baik.”

Lelaki itu tersenyum. “Thanks, Bu. I think I should go to bed. Good night.”

Tit. Percakapan yang terjadi lewat telepon itu berlangsung singkat tapi sangat-sangat melegakan hati lelaki yang sekarang sedang menatap bulan purnama di apartemennya. Dia lalu tersenyum. “Akhirnya aku bisa mengucapkan kata yang belum sempat kuucapkan padamu, May.”

19 Maret 2005.

“Angga, kenapa?”

Lelaki yang bernama Angga itu diam. Dia masih ragu untuk mengatakan semuanya pada wanita yang kini duduk disampingnya.

“Aku akan pergi ke London. Aku akan melanjutkan kuliahku disana.”

Wanita yang dari tadi tersenyum kini berubah total. Diam dan tak berkutik. “Secepat itu kah?”

“Aku harus pergi, May. Maafkan aku.”tampak raut wajah sedih di wajah lelaki.

May diam. “Hanya itu yang bisa kau sampaikan?”

“Aku akan menikah.”

Hancur. Mungkin itu yang dirasakan gadis yang sedari tadi diam sendiri. Menyesal, sakit, dan pedih. Ingin rasanya ia mencabik-cabik lelaki yang kini berada di sampingnya. Tapi dia bukan siapa-siapa. May, panggilan gadis itu, tahu benar posisinya berada dimana.

“Bagus dong. Lalu kau akan menikah dimana? Kenapa aku baru cerita padaku sekarang? Jahatnya.”kata gadis itu sambil memaksakan dirinya untuk tersenyum dan ceria kembali.

“Semuanya akan diadakan di London. Maaf aku baru memberi tahumu. Aku bahkan gak pernah memberitahumu kalau aku punya pacar. Sebenarnya kami berpacaran jarak jauh. Dia sekarang sedang di London. Dan aku akan menyusulnya.”

Remuk. Adakah rumah sakit untuk hatiku saat ini? Pikir si gadis. Tapi May begitu kuat. “Tidak apa-apa. Yah, jauh sekali. Berarti aku nggak diundang dong.”

Lelaki yang bernama Angga itu tersenyum. “Aku kan tidak bilang aku tak mengundangmu. Justru aku senang sekali kau datang ke sana. Masa aku menikah tanpa seorang sahabat yang menemaniku? Tapi tanggal pernikahanku bentrok dengan jadwal skripsimu.”

Mata May melebar. “Maksudmu, kau akan pergi ke London minggu depan?”

Angga mengangguk. “Maaf ya.”

“Teganya! Kenapa kau baru memberi tahuku sekarang?”

“Hehe. Surprise!”

Melihat raut wajah May yang pura-pura cemberut, Angga jadi tertawa lagi. “Hey anak kecil! Jangan cemberut gitu dong! aku mau nikah ni! Mana ucapan selamatnya? Haha.”

“Selamat!”jawab May ketus dan penuh emosi.

“Haha. Kok ngambek toh neng? Eh, udah malam. Aku pulang dulu ya.”

Tak ada jawaban. May diam dan menunduk sebelum akhirnya memanggil nama cowok tersebut. “Angga…”

“Yap?”

“Aku cinta kamu.”

Hening. Senyap. Tidak ada suara selama tiga menit. Mereka pun tak saling bertatap-tatapan. Entah apa yang mereka rasakan. Takut, kecewa, sedih, atau bahagia. Lalu sebuah suara pun muncul.

“Maaf.”kata Angga.

Angga lalu membuka pintu dan keluar dari ruangan. Sementara May menyesali perkataannya. Ia tak menyangka ia nekad seperti itu. Ia juga tak menyangka begitu cepatnya Angga meninggalkannya.

Sebersit kata benci muncul di pikiran May. Ia lalu berlari keluar rumah dan menemukan Angga yang berdiri mematung di teras.

Angga terkejut melihat butir demi butir air mata yang jatuh di pipi May. Dipeluknya gadis yang lemas dihadapannya itu.

“Angga, sejujurnya aku sakit. Aku cinta kamu Angga. Aku nggak mau kamu pergi.”kata May sambil terus menangis.

Angga tak bisa berkata apa-apa lagi. “Maaf, May. Aku nggak bisa.”

May melepaskan tubuhnya dari pelukan Angga. “Kamu jahat! AKU BENCI KAMU!”katanya penuh emosi.

“Maaf, May. Lupakan aku.”

"Apa nggak ada sedikit perasaan kamu ke aku?"

Diam. Angga bingung mau berkata apa. Sebenarnya ia tak ingin mengkhianati perasaannya sendiri. Tapi bayangan calon istrinya datang. "Aku..."

"JAWAB!"bentak May.

"Kita cuma sahabatan, May. Gak lebih."

"Lalu kenapa kau baru kasih tau aku sekarang tentang pernikahanmu? Kau tahu? Aku selama ini menunggumu!!"

"Apa pernah aku memintanya?"

Kedua mata May melebar. Tak disangka lelaki yang selama ini disayanginya dan ia kira juga menyayanginya berkata hal seperti itu.

"Jangan pernah masuk ke kehidupanku lagi."bisik May sebelum akhirnya berlari masuk ke kamar dan membanting pintu sekuat-kuatnya.

Ternyata apa yang dirasakan May selama ini hanya tabu belaka. Ia kira Angga juga memiliki perasaan khusus untuknya. Tapi ternyata, Angga sudah termiliki. Dan dia akan menikah. Sungguh berat bagi May untuk menerima kenyataan begitu pahitnya perjalanan cintanya selama ini. Sia-sia, begitu yang dirasakannya. Selama ini May membiarkan dirinya sendiri karena terus menunggu ungkapan cinta dari Angga. Dan sampai malam ini, jantungnya serasa berhenti berdetak ketika mendengar lelaki pujaannya akan menikah di London entah bersama siapa. Kenapa Angga tak pernah menceritakan hal ini padanya? Dan kenapa baru kali ini Angga menjelaskan tentang perasaannya kepada May? Perasaan seorang sahabat.

May mengurung dirinya dalam kamar. Ia menangis sepuasnya malam itu. Dan malam itulah, May berjanji pada dirinya sendiri. Dia tak akan mengingat-ingat Angga lagi.

“Aku benci kamu Angga!! Aku nggak mau ketemu aku lagi.”

“Malam, Bu.”sapa Angga setibanya ia dirumahnya. Dilihatnya ibu kandungnya yang sedang duduk menonton televisi.

Ibu Angga merasa khawatir melihat raut wajah Angga yang terlihat sedih dan kecewa. “Angga, sini. Duduk sini.”

Angga menurut. Dilepaskannya jaket yang dari tadi ia kenakan. Lalu ia berbaring di pangkuan mamanya. “Bu, dia bilang dia cinta padaku.”

“Apakah itu berita baik?”kata ibunya sambil mengelus-elus rambut Angga.

“Menurut ibu?”

“Itu berita yang sangat luar biasa. Akhirnya gadis yang selama ini kamu cintai mencintai kamu juga kan?”

Angga menarik nafas panjang. “Iya, tapi aku jadi berat meninggalkannya. Bagaimana dengan Keyla?”

“Apa kau mencintai Keyla?”

“Entahlah, Bu. Aku bingung. Keyla bukan siapa-siapaku lagi. Tapi dia ingin sekali menikahiku di akhir hidupnya. Aku rasa aku adalah akhir yang bahagia buatnya, Bu. Tapi aku mencintai May. Sedangkan Keyla? Memang aku pernah mencintainya, tapi itu sebelum….”

“Sebelum Keyla sakit dan dirawat di Inggris? Sebelum kau akhirnya bertemu dengan May?”

Angga mengangguk. “Bagaimana ini, Bu? Kasihan May.”

“Ikuti kata hatimu, Angga. Jangan buat keputusan yang salah.”

Angga menarik nafas panjang lagi. “Ibu, boleh aku minta sesuatu?”

“Apa, anakku?”

“Jika setelah aku menikahi Keyla, dan akhirnya Keyla meninggal, ubahlah diriku menjadi orang lain. Aku tak mau menjadi Angga lagi.”

Seakan mengerti apa yang terjadi, ibunya Angga hanya diam dan tersenyum sambil terus mengelus-elus rambut anaknya.

Angga mengingat-ingat raut wajah May malam itu sebelum ia berhasil tidur. Ia gelisah dan tak kuasa menahan kecewanya ia karena telah membiarkan cintanya kecewa. Angga tak kuasa menahan amarahnya saat ia mengingat perkataan terakhir May malam ini. Sebegitu bencikah ia kepadaku? batin Angga.

Sebuah pigura berisi foto beberapa foto May menghiasi meja di samping tempat tidurnya. Di elus-elusnya pigura foto tersebut. Namun tiba-tiba tangannya menggeram. Marah, kecewa, kesal, benci pada dirinya sendiri. itulah yang dirasakan Angga. Meninggalkan seseorang yang selama ini ia cintai demi keinginan seseorang yang mendekati kata "mati" .

Ingin sekali detik ini Angga berlari ke rumah May dan mengatakan padanya bahwa ia mencintai May. Memeluknya, dan berkata bahwa wanita yang ingin dinikahinya adalah May. Tapi May sudah membencinya.

"Yang ia benci adalah seorang Angga. Dan sampai waktunya tiba, aku akan kembali ke kehidupannya bukan sebagai Angga lagi."

No comments: