Tuesday 23 November 2010

When My Heart is Closed

          Aku masih terbaring lemah di rumah sakit. Lebih tepatnya koma. Otakku mengalami pendarahan hebat karena kecelakaan yang menimpaku kemarin. Sekarang, aku hanya berada di alam bawah sadarku. Ditempat serba putih dan kosong. 
            Entahlah, tapi menurutku ini hal yang pantas kudapatkan, mengingat karmaku setahun yang lalu. Dimana aku meninggalkan teman kecilku Fani, saat ia dioperasi karena menderita kanker hati.
            Kepergianku bukanlah tanpa alasan. Jika aku bisa menolak untuk ikut dengan orang tuaku, aku pasti sudah melakukannya. Aku mencoba melupakan masa lalu yang sangat pahit itu. Karena aku meninggalkan Fani disaat ia membutuhkanku, semua orang yang dekat denganku dulu, juga jauh dariku. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana kabar mereka sekarang.
            Tapi bukan itu yang kupikirkan. Bukan juga tentang sekolah, atau teman-temanku yang sejak dua hari lalu aku terbaring disini, belum juga menjengukku. Aku memikirkan tentang pertengkaran hebatku dengan Rendi sebulan yang lalu.
            Aku sebenarnya juga tidak mengerti mengapa, tapi sebaiknya kita kembali ke waktu itu.
           
            Malam dimana kami duduk berdua di sebuah restaurant dan ia menceritakan padaku perasaannya kepada seorang wanita yang ia sayangi. Betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa ia menyayangi orang yang sekelas denganku. Namun Rendi tidak memberitahukan siapa nama cewek itu. Aku hanya mengangguk mendengarkan ceritanya. Membayangkan bahwa gadis yang disukainya adalah aku.
            Kutatap matanya. Ya, ia menyembunyikan perasaannya. Saat itu juga, aku tahu bahwa gadis yang disukainya itu adalah aku. Ku sebutkan  satu persatu nama cewek-cewek yang ada dikelasku. Yang ia lakukan hanya menggeleng. Ia tidak cukup pintar untuk berakting. Sampai akhirnya ku sebutkan namaku.
            Ia menatap bola mataku dan berkata, “Seandainya gadis yang kusayang itu kamu, bagaimana?”
            Aku meringis, sedikit tertawa. “Mana mungkin…”jawabku. Aku tahu, bahwa sebenarnya itu mungkin saja terjadi. Karena hanya tiga orang dikelasku yang mengenal seorang Rendi. Dan yang paling dekat dengannya adalah aku. Namun kutepis jauh-jauh pikiranku itu. Aku mulai menopang dagu, menunggu apa yang hendak dikatakannya. Ia juga menopang dagu dan kami saling berhadapan dan saling menatap.
            “Kenapa gak mungkin?”tanyanya.
            Aku memutar bola mataku. “Entahlah. Mungkin kau hanya mempermainkanku. Bisa saja kau berbohong bahwa orang yang kau suka itu sebenarnya tidak duduk di kelasku.”
            Ia tersenyum lebar. “Mungkin. Mungkin aku berbohong, dan mungkin tidak.”
            Sejak malam itu aku dihantui rasa penasaran yang mendalam. Aku menyukai Rendi. Sangat menyukainya. Dan kau tahu kan, apa yang dirasakan seseorang ketika tahu bahwa seseorang yang disukainya menyukai seorang gadis yang sekelas denganmu?

            Sesuatu yang aneh terjadi. Untuk beberapa hari, Rendi tidak membalas semua smsku. Atau berkata hai kepadaku saat kami saling bertemu. Aku heran. Benar-benar heran. Karena yang aku tahu, terakhir ia membalas smsku saat aku mengirimkan sebait lagu kepadanya.
            Don’t you say you didn’t love me back cause you know you did…
            Ia membalas sangat singkat, untuk siapa?
            Namun aku tidak menghiraukannya. Seandainya kau tahu bahwa itu untukmu.
            Aku juga mendapat fakta bahwa ia memang menyayangiku. Selain dari tatapan matanya, juga dari semua status di facebook yang ia tulis. Mungkin ini sedikit berlebihan, namun aku merasa bahwa apa yang ia tulis semuanya untukku. Terlebih lagi bahwa seorang teman wanitanya mengatakan padaku bahwa ia menyukai seorang gadis dikelasku dengan inisial IR.
            Tentu saja itu namaku. Intan Rahayu. Aku masih diam dan menunggu kejujuran yang harus ia katakan kepadaku sampai sekarang.

~~~~~

            “Intan koma??”aku terperanjat ketika mengetahui kabar tentang sesosok gadis yang ku kenal selama kurang lebih tujuh bulan itu.
            Ami mengangguk. “Iya. Kabarnya ia kecelakaan sepulang les kemarin dan baru dua hari dirumah sakit. Rencananya teman-temannya akan menjenguknya hari ini. Kau mau ikut?”
            Aku ragu dan bimbang. Mengingat tetang rasa pengecutku terhadap perasaanku kepadanya. Saat aku hendak menggeleng, hatiku berkata lain. “Aku mau menjenguknya nanti malam. Aku juga ingin mengatakan sesuatu padanya. Sesuatu yang seharusnya kukatakan dari dulu. Maukah kau menemaniku?”
            Ami mengangguk. “Baiklah” katanya lalu melenggang pergi meninggalkanku sendirian di kelas.
            Intan dirumah sakit?? Koma?? Dasar nakal. Sudah tahu ngebut dijalan itu berisiko tinggi. Tapi ia tetap saja melakukannya.
            Batinku resah dan gelisah. Lihat akibat perbuatanmu Rendi! Kau sengaja untuk menghindarinya selama sebulan karena terlalu takut untuk memikirkan perasaanmu yang paling dalam itu. Dan dampaknya? Kau mungkin orang terakhir yang mengetahui tentang keadaannya yang parah ini.
            Aku memaki-maki perasaanku sendiri. Ku baringkan kepalaku diatas kedua tanganku. Apa yang sudah kulakukan? Aku benar-benar menyesal! Aku benar-benar seorang pengecut!
            Aku hanya tak ingin cintaku kepadanya berbuah pahit nanti. Selain itu pula, aku tidak pernah merasakan cinta sebesar cintaku pada Intan. Ia memang lebih muda dariku. Kepolosannya, keluguannya, dan candanya menemaniku setiap detik dan setiap menit disaat aku kacau, bimbang dan bingung.
                       
Rasa menyesal muncul seketika saat kudapati dirinya berbaring diatas tempat tidur dengan kepala yang terbalut perban dan beberapa luka dikakinya. Selang oksigen masih ada dihidungnya. Intanku yang malang
“Malam tante…”sapaku pada seorang wanita separuh baya yang duduk di sofa.
“Malam. Temannya Intan ya? Masuk masuk.”
Aku dan Ami menurut. Kuletakkan buah yang sedari tadi kupegang di samping tempat tidurnya. Intan begitu manis walau matanya tertutup rapat. Rasa penyesalanku datang kembali. Seorang suster membuka pintu kamar dan berbicara dengan mama Intan.
“Maaf, tolong jaga Intan sebentar ya. Tante mau mengurus biaya perawatannya dulu.” Aku tersenyum.
Ami duduk di sofa, menelpon seseorang. Aku berdiri di samping tempat tidur Intan dan mengambil kursi. Kupegang tangannya yang dingin dan lemah tak berdaya.
Apa yang sudah kulakukan padamu Intan? Aku sungguh bodoh. Benar benar bodoh. Aku menolak kenyataan yang terjadi mentah-mentah. Kenyataan bahwa aku mencintaimu sejak dulu. Sejak kita pertama kali bertemu saat kelulusanmu. Aku seharusnya yang menjagamu. Aku yang seharusnya berada disampingmu disaat kau butuh. Namun aku malah menutup pintu hatiku dan mencoba membuang perasaanku terhadapmu jauh jauh.
Ku elus rambutnya. Kutatap kelopak matanya sambil berharap ia akan sadar dari tidur panjangnya. Tapi percuma.
Aku hanya tak ingin kau kecewa karena aku mencintaimu. Aku sungguh tidak layak mendapatkanmu. Walau aku tahu, kau juga mencintaiku. Tapi kau terlalu sempurna untukku.
Intan, sadarlah. Maaf karena ku sudah mengecewakanmu dan menghindar darimu. Aku yang salah. Aku yang bodoh meninggalkanmu. Tak kusadari air mataku menetes. Dengan cepat kuhapus air mataku itu. Tapi terlambat, Ami melihatnya. 
“Belum terlambat untuk mengungkapkan perasaanmu. Ia mungkin menunggumu untuk mendengar kejujuran yang sebenarnya. Katakanlah…”
           Aku mengangguk pelan. Kudekatkan mulutku ke telinganya dan berbisik, “Aku mencintaimu lebih dari apapun. Asal kau tahu itu.” 
Aku dan Ami akhirnya pergi setelah mama Intan kembali ke kamar. Walau sebenarnya, aku ingin ia melihatku saat pertama kali ia membuka matanya.
           “Jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama lagi. Menghindari orang yang kau cinta, bukan jalan yang tepat untuk menghindar dari kesakitan yang akan  kau rasakan. Ceritakan pada Intan ketika ia sadar nanti.”
Aku mengangguk kuat. “I will”.


           Waktu mungkin akan mengijinkan kita untuk mengatakan kejujuran. Tapi hati bisa dengan mudahnya tertutup ketika kejujuran itu tak kunjung datang. 


No comments: