Sunday 7 November 2010

A missing gift

             
A missing gift
    Malam menghujan. Dingin menusuk. Ditambah petir dan angin ribut. Aku masih memegang handphoneku. Menghibur diri dengan mendengarkan lagu rindu.
            Aku galau memikirkan pertengkaranku dengan Beni kemarin. Hal yang membuatku sangat sangat kesal sepanjang sejarah. Begini ceritanya.
            Saat itu siang menjelang sore. Namun hapeku sama sekali tak berdering. Tidak ada sms ataupun telepon darinya. Padahal hari itu hari ulang tahunku. Aku merasa kesal sekali. Benar benar kesal. Dan ternyata beberapa menit kemudian dia menelpon.
            “Maaf ya Dina, aku sibuk hari ini. Sekarang aku baru sampai rumah. Kamu lagi apa?”
            Aku kaget. Dia terdengar lelah dan terdengar tidak tahu menahu tentang hari ulang tahunku.
            “Nungguin kamu nelpon”balasku.
            “Ohh. Hmm, udah makan?”
            Just Ohh???! pikirku. “Udah. Kamu?”jawabku dengan ketus.
            “Udah juga. Udah dulu ya, aku lelah. Nanti malam aku telpon lagi.”
            Dan yang tambah bikin aku dongkol, dia yang mematikan telponnya duluan! Bukan aku! Geram. Benar-benar geram. Tapi aku masih berusaha untuk bersabar dan mengerti keadaannya yang lelah entah mengapa.
            Sampai akhirnya pukul sebelas malam. Aku masih duduk termanggu menunggu telpon dari Beni. Dasar anak itu. Apa jangan-jangan dia lupa untuk menelponku? Huh. Hari ulangtahun, tapi aku malah diam dirumah. Padahal rencanaku malam ini, makan malam berdua hanya bersamanya di tempat biasa. Aku juga tidak mengharap kado atau apalah itu. Ucapan selamat darinya pun merupakan anugrah buatku. Tapi kalau begini? Boro boro makan malam dan ucapan selamat. Ingat ulangtahunku pun sepertinya tidak.
            Lelah menunggu ia menelponku akhirnya aku tertidur. Hingga esok pagi aku terbangun, aku tidak melihat kalimat “1 new message” ataupun “1 missed call” dilayar handphoneku. Benar benar kelewatan!
           
            “Pagi…”sapa Beni saat ia datang menghampiriku dikantin. Aku menoleh. Untuk tiga detik kutatap ia dengan sinisnya lalu berpaling muka.
            “Kenapa?”tanyanya.
            “Kenapa?!”kataku. Ia terdiam. Wajahnya memancarkan rasa bersalah. Namun masih belum bisa melunakkan hatiku untuk memaafkannya. Akupun pergi. Dan yang tambah bikin aku marah, ia tidak melarangku pergi. Hanya duduk diam berpikir akan sesuatu. Kesal! Bagaimana perasaanmu jika hari ulang tahunmu disepelekan oleh pacarmu? Sakit hati pastinya!
            Sepanjang jam pelajaran disekolah, aku mencoba untuk tidak memikirkan kejadian semalam dan terus berpikir positif. Tapi tidak bisa. Menurut logikaku, adalah hal yang gak wajar jika seorang pacar TIDAK mengucapkan selamat ulangtahun kepada pacarnya sendiri. Bahkan teman-temanku yang sangat cuek dan jarang mengobrol denganku, dengan ramah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Aku benar-benar kecewa.
            Sepulang sekolah, ia menungguiku di depan kelasku. Aku sengaja mengecohkannya dan terus melenggang pergi tanpa melihatnya. Tapi ia berhasil meraih tanganku.
            “Apa salahku?”katanya.
            “Apa??”tanyaku dengan suara membentak.
            “Kenapa sih? Gara-gara semalam aku tidak menelponmu? Maaf Din. Aku lelah sekali semalam. Semalam ada rapat osis dadakan dan aku lupa memberitahumu…”
            “Memberi tahu apa?!”tanyaku lagi. Kami bertatapan untuk beberapa detik. Ia tak bisa berbicara. Kuyakini saat itu juga, bahwa ia menyesal karena lupa akan ulang tahunku.
Kulepas tanganku dari genggaman tangannya. “Jangan bicara denganku lagi!!”
            Aku masih mendengar ia berteriak memanggil namaku beberapa kali. Tapi aku tidak menoleh. Sama sekali tidak.

            Sampai detik ini kami tidak pernah mengucapkan satu katapun. Disekolah, sms, telpon, atau chatting. Tidak pernah. Dan itu yang membuatku tidak bisa memaafkannya. Maksudku, aku memang manja. Tapi, coba bayangkan. Pacarmu tidak INGAT hari ulangtahunmu dan TIDAK mengucapkan maaf sekalipun! Kelewatan bukan? Selama ini aku memang sensitif terhadap jadwal sekolahnya yang padat akan rapat osis, latihan futsal, les dan sebagainya. Tapi kemarin adalah hari yang paling tidak berkesan buatku! Bahkan hari yang paling parah sepanjang sejarah hidupku!
            Handphoneku berdering. Dari Lolita.
            “Halo?”
            “Halo, Dina? Din! Tau gak sih kalau Beni mau pergi?”
            “Hah?? Engga. Kemana? Tau dari siapa?”
            “Hendri. Tadi rapat osis, terus Hendri bilang ke aku, kalau Beni akan pergi ke Bandung. Kok kamu bisa gak tau sih?”
            Aku terdiam sejenak. Beni pergi? “Makasi infonya Lol.” Kumatikan sambungan telepon dari sahabatku itu. Tak kusadari air mataku jatuh keluar.
            Setelah dua puluh menit aku menangis aku baru bisa berpikir. Jahat sekali Beni! Aku pacarnya, tapi aku baru tahu dia akan pergi. Entah dalam waktu singkat, atau pergi untuk selama-lamanya. Yang membuat aku tidak bisa berpikir bahwa ia mencintaiku adalah ia tidak mengucapkan kata perpisahan atau sebagainya. Setidaknya, pamit. Tapi? Hapeku berdering lagi. Dari Beni.
            “Dina ?”panggilnya.
            Aku hanya diam. Mungkin yang bisa ia dengar hanya isakan tangisku.
            “Kenapa menangis sayang?”
            Aku masih diam. Dasar lelaki tak berotak! pikirku.
            “Buka jendelamu sekarang.”lanjutnya.
            Aku menurut, ku usap air mataku saat kulihat ia diluar pagar rumahku sambil memegang sebuah cake coklat dihiasi dengan beberapa lilin. Aku juga melihat beberapa balon yang diikat disetir motornya.
            “Plis, keluar. Aku kedinginan.”katanya. Aku baru sadar bahwa hujan telah berhenti dan tak ada angin ribut lagi. Hanya jalanan licin dan ranting-ranting pohon yang basah.  
            Kuturuni anak tangga dan membuka pintu pagar. Ia tersenyum dan melangkah maju kearahku.
            “Happy Birthday sayang…”
            Aku hanya menatap kue itu. Tertulis di atasnya, “Selamat ulangtahun Dina Lorenza, my sweetest girl”
            “Maaf tapi kamu harus dengar penjelasanku. Aku sama sekali tidak melupakan ulangtahunmu. Tapi, hari itu…”
            “Apa?”tanyaku. Masih kutatap dia dengan sinisnya. Ia menunduk. Untuk beberapa saat ia tidak menjawab. Aku tambah jengkel. Kenapa sih anak ini? pikirku.
            “Dihari ulangtahunmu, sahabatku meninggal…”
            Aku kaget. Untuk beberapa menit kami hening. Saat itulah rasa kasihanku muncul. “Kenapa kamu gak cerita?”tanyaku dengan ramah.
            “Terlalu menyakitkan untuk diceritakan. Dihari ulang tahunmu itu aku menangis semalaman. Rio adalah sahabat terbaikku, namun sayang, kita udah jauh. Aku disini, dia di Bandung. Besok aku akan pergi melihatnya. Sungguh, maafkan aku yang hina karena telah mengecewakanmu…”
            Ia masih menunduk. Sepertinya menangis. Ku ambil kue yang sedari tadi dipegangnya itu dan ku letakkan di atas motornya. Kupeluk dia.
            “Aku yang berdosa karena telah membebanimu.”kataku.
            Ia memelukku lebih erat dan kepalanya lemas seketika dibahuku. Ia berhenti menangis. “Aku sempat berpikir bahwa bodohnya aku tidak mengucapkan selamat dihari ulang tahunmu. Hari spesial bagimu. Dan aku merasa kesepian sekali saat kita tidak berbicara satu sama lain selama dua hari. Bukan maksudku untuk tidak minta maaf kepadamu, tapi selama dua hari itu aku merasa sangat terpukul….”
 Dan saat itu juga aku sadar. Betapa bodohnya aku. Aku terlalu egois dan selalu bertindak sendiri. Dia mengelus pipiku, “Namun kamu begitu baik. Kamu mengerti aku, sayang. Aku lelaki yang paling beruntung didunia karena memiliki malaikat terindah sepertimu. Terimakasih karena telah memilihku untuk menjagamu.”
            Aku hanya tersenyum. Kulepas diriku dari pelukannya. Ia mengambil kue yang dibelinya untukku. Lilin-lilinnya masih menyala terang.
            “Ingat, berdoa dulu dan mengucap syukur sebelum meniup lilinnya…”
            Aku mengangguk. Kupejamkan mataku dan berkata dalam hati bahwa Tuhan sungguh baik mengijinkan aku bersama Beni. Sungguh kejamnya aku melupakan Beni dihari ulangtahunku. Hadiah terindah yang diberikan oleh-Nya kepadaku.

No comments: