Thursday 28 April 2011

listen dear,
only God knows why we came up this way
we've already tried, but we can't fight no more
there's something we can't work on
so when the day has come, let it be
our heart will still be together
even we are separated
by a long, long distance
trust me my dear, our love is the only thing
that I'll take to my final rest

Saturday 23 April 2011

Kesempatan Kedua, Tangga

kini ku sesali
nyata cintamu kasih
tak sempat terbaca hatiku
malah terabai olehku

lelah ku sembunyi
tutupi maksud hati
yang justru hidup karenamu
dan bisa mati tanpamu

andai saja aku masih punya
kesempatan kedua
pasti akan ku hapuskan lukamu
menjagamu, memberimu segenap cinta

ku sadari tak selayaknya
selalu penuh kecewa
kau lebih pantas bahagia
bahagia karena cintaku

andai saja aku masih punya
kesempatan kedua
pasti akan ku hapuskan lukamu
menjagamu, memberimu segenap cinta

kau bawa bersamamu
sebelah hatiku separuh jiwaku
yang mampu sempurnakan aku

andai saja aku masih punya
kesempatan kedua
pasti akan ku hapuskan lukamu
menjagamu, memberimu segenap cinta

Thursday 21 April 2011

PAUL


Salam, cinta film! Nah, kalau film-film sebelumnya membahas tentang hal-hal fantasi, kali ini gue bahas film komedi yang seru dan lucu abis! Paul or Paulus, is a strange creature that nyasar ke bumi *blepotan tuh bahasa inggris*. Bukannya menyeramkan, tapi makhluk luar angkasa ini malah bersahabat dengan kedua manusia yang menemukannya. Dua orang berkebangsaan Inggris dengan pekerjaan sebagai Komikus, Graeme Willy (Simon Pegg) dan Clive Gollings (Nick Frost) are travelling to America untuk konvensi Comic-Con tahunan.


Dalam perjalanan itulah mereka menemukan Paul yang sedang santai merokok. Disini Paul meminta bantuan mereka untuk melindunginya dari kejaran pemerintah yang ingin membedah otaknya untuk dimanfaatkan. Sebagai makhluk luar angkasa, Paul tentu saja memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak dimiliki manusia, seperti menghilang, telepati dan sebagaiya.
Diperjalanan, mereka juga bertemu dengan Ruth Buggs (Kristen Wiig) yang buta dan kemudian disembuhkan oleh Paul. Ternyata Paul punya niat tersendiri untuk datang ke bumi, yaitu bertemu kembali dengan cintanya.


Di film Paul ini akan dikupas berbagai cerita cinta, komedi, dan kejar-kejaran dengan pemerintah. Dan gue barusan baca endingnya yang ternyata sedih GILAAA! Pokoknya, ni film bisa dibilang keren deh untuk jalan cerita yang terkesan biasa banget.
By the way, ngomong-ngomong tentang film, gue NGGAK SETUJU BANGET sama keputusan pemerintah yang menarik film-film barat dari peredaran di Indonesia. Untuk apa coba? Kita tuh butuh inspirasi, dan film-film barat nggak seluruhnya nggak bener. Pemerintah kita, gue akui, emang kurang bijak. Ngapain coba ngurusin film? Banyak tuh rakyat miskin yang masih harus diperhatikan! *emosi*
Kembali ke film deh. Interesting kan? Kalau lagi suntuk, pengen ketawa atau pengen nangis, mending nonton ini deh. happy watching readers! 




GREEN LANTERN



What’s up guys? Now, lets check my new information about movie I wanted to watch so much. Green lantern!
Apa yang gue suka dari film ini? Si pemeran utama, alias Ryan Reynolds yang berperan sebagai Hal Jordan. Awalnya gue ngira dia disini sebagai jerk *ngarang sih. Itu karena gue liat trailernya doang dan dia lagi tiiiiit*. Tapi gue lebih suka kalau dia main sebagai aktor yang mencoba romantis seperti di film The Proposal dan Definitely, Maybe. So, apa sih yang di ceritakan di film ini?
Diceritakan bahwa ada sebuah perkumpulan pelindung perdamaian dan keadilan di luar angkasa yang di sebut Green Lantern Corps. Masing-masing prajurit yang bekerja disini bersumpah untuk menjaga ketertiban antargalaksi. Tiap-tiap dari Green Lantern, memakai cincin yang dapat memberikan mereka kekuatan yang super.
Namun datang musuh baru mereka, Parallax yang mengancam akan mengahncurkan keseimbangan kekuasaan alam. Oleh karena itu, nasib seluruh jagad raya dan bumi, ditentukan oleh para Green Lantern.


Pada suatu hari, seorang Green Lantern jatuh ke bumi. Dan ia ditemukan oleh Hal Jordan (Ryan Reynolds). Lalu ia meminta Hal untuk menjaga cincinnya dan menyelamatkan alam semesta.
Hal Jordan menjadi satu-satunya manusia yang menjadi Green Lantern. Ia bekerja sebagai pilot yang sangat sombong. Dan seketika hidupnya berubah ketika ia menjadi Green Lanters. Hal yang membedakannya dengan para Green Lantern yang lain adalah ia memilik sikap kemanusiaan, sebagaimana manusia sejenisnya. Lalu ia diberi tanggung jawab yang besar karena harus mempertahankan Green Lantern dan menyelamatkan dunia. Dengan mempelajari seluruh kekuatan super, apakah Ryan Reynold bisa mengatasi ketakutannya?
Well well well, that’s all the story about Green Lanters that inspired by Green Lantern’s comic. Selain Ryan Reynolds, juga ada Blake Lively (pacarnya Hal Jordan), Peter Sarsgaard, Mark Strong, Leanne Cochran, dan lain-lain.
Silahkan menanti film ini di bioskop ya! Akan diputar bulan Juni 2011. Want to see the trailer? Here we go!


RED RIDING HOOD


Film ini kayaknya terinspirasi dari dongeng luar negeri, gadis korek api dengan jubahnya yang berwarna merah. Film ini dapat dikategorikan sebagai film horror, misteri, dan fantasi. Gue sih belum nonton nih film, tapi gue tertarik karena direktor film ini adalah Catherine Hardwicke, direktor film Twilight.
Jujur, gue nggak terlalu suka dengan film Twilight, karena ekspresi para pemainnya datar banget, dan juga konfliknya nggak dapet. Jadi ngeboringin banget. lagian, apa sih yang menarik dari film Twilight? Edward? Alah, muka tua gitu. Taylor Lautner? Lumayan sih, hehe. Bella? Nggak ada ekspresi. Tapi kalau bukunya, boleh deh diacungi jempol.
Nah, yang bikin gue tertarik dengan Red Riding Hood adalah, film ini beda banget sama Twilight. Pertama, dilihat dari ekspresi pemain-pemainnya. Kedua, lebih menantang. Ketiga, hmm, kenapa ya? Mungkin karena mengambil dongeng dan di lebih-lebihkan lagi ceritanya. Apalagi ada cerita cinta segitiga disini.
Konon, Valerie (Amanda Seyfried) adalah seorang wanita muda yang cantik dan terjerembab di cinta segitiga. Ia jatuh cinta dengan Peter (Shiloh Fernandez), tetapi orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan Henry (Max Irons).
Tentu saja Valarie tidak mau berpisah dengan Peter. Tapi kejadian yang menggenaskan yang terjadi pada adiknya membuatnya tidak bisa meninggalkan desa. Adiknya dibunuh oleh werewolf yang berada di hutan sekitar desa. Selama bertahun-tahun, orang-orang telah mempertahankan cara mereka berdamai dengan para werewolf dengan menawarkan sebuah pengorbanan hewan setiap bulannya. Tetapi, dibawah bulan darah (blood red moon), serigala itu telah menaikkan taruhan dengan mengambil nyawa manusia.


Tentu saja warga tidak setuju. Lalu mereka memanggil pemburu werewolf terkenal, Bapa Salomo (Gary Oldman), untuk membantu mereka membunuh serigala. Salomo memperingatkan bahwa werewolf menyamar sebagai manusia dan mungkin saja sebagai salah satu dari warga sekitar.
Segitu aja yang bisa gue kasih tau mengenai Red Riding Hood. selebihnya, gue nggak bisa ngasih tau pendapat gue karena gue nggak bisa nonton nih movie, karena gue tinggal di TANJUNGPINANG yang miskin akan MALL dan BIOSKOP! Suck town! Anyway, see you in my next movie post. Bye bye ^^



Wednesday 20 April 2011

Think Positive!

Helo my lovely readers! How are you doing? Fine? That’s great!

Well, sekarang gue lagi bingung mau post apa, tapi yang jelas gue kepengen banget nge-post something di blog anjing saya. Eh, maksudnya blog unyu saya. Hehe.

Gimana kalau kali ini kita merenung sedikit dan berpikir positif? Nah, berpikir positif itu nggak susah kok. Gue udah berpengalaman kalau di bidang ini, hehe. *hue!*

Banyak yang kita dapatkan kalau kita berpikir positif. Salah satunya, setelah berpikir positif gue jamin, lo pasti langsung senyum-senyum sendiri dan pikiran lo jadi lebih terkontrol.

Nah, kali ini gue pengen menulis sesuatu yang mungkin akan mengubah sedikit cara pandang lo terhadap masalah-masalah lo. Berikut ini adalah hal-hal yang gue renungkan selama gue liburan di rumah. *karena nggak ada kerjaan, jadi ya, melamun mulu*. Yuk baca!

  • Kadang lo ngerasa bete ya, kalau nggak ada orang yang mau bantuin lo ngerjain sesuatu? Well, gue selalu ngerasa begitu. Tapi jangan khawatir dan putus asa. Kita selalu bisa ngerjain sesuatu asal ada kemauan dan tekad kalau pekerjaan itu akan terselesaikan. Kerjakan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Juga berdoa! Setelah itu, lo pasti bisa deh ngerjain semuanya. Mungkin kalau lo nggak punya temen untuk minta tolong, lo bisa pergunakan temen setia lo, yaitu internet.

    Dunia gak adil? Yups! Absolutely true. Tapi, kita gak boleh mengahakimi dunia ataupun Tuhan karena udah membuat hidup kita gak adil. Kita mesti bisa nerima dunia gak adil. Ya, mungkin itu yang namanya karma. Ambil positifnya aja. Percaya kalau dibalik ketidak-adilan itu pasti ada berkahnya buat kita.

    Selesaikan semua masalah dengan kepala dingin. Bukan dalam arti lo harus dewasa atau tidak egois. Kepala dingin bisa berarti lo harus nerima masalah itu dengan ikhlas dan jangan langsung marah-marah, bete, atau sebagainya. Lo tau kan lo punya kekurangan? Nah, perbaiki kekurangan lo itu. Mungkin disitu masalah lo yang sebenarnya.

    Egois disaat temen lo lagi emosi itu wajar. Jangankan temen lo, lo juga pasti kayak gitu. Lo mungkin aja menganggap mereka egois, sedangkan lo tidak. Well, kenyataan tidak begitu, bro. Semua orang pasti egois. Selfish came naturally. Ya udah, kalau udah lagi di posisi itu, aggap aja egois itu wajar. Ntar juga kalau udah terbiasa nganggap egois itu wajar, keegoisan itu hilang dengan sendirinya.

    Jangan pernah berkata “aku nyesel udah kenal kamu!” dengan orang yang mungkin lo benci banget. Penyesalan hanya untuk sementara. Tuhan mengenalkan kita pada mereka yang kita benci atau tidak kita sukai, pasti ada alasannya. Agar kita bisa membandingkan diri kita dengan orang yang kita benci itu. Nah, seharusnya sebelum lo membenci seseorang, lo harus berada di posisinya dulu. Inget nggak istilah “kenali dulu musuhmu”? dan kita juga seharusnya membenci diri kita sendiri karena telah membenci orang lain. Membenci orang itu pasti karena kita membenci keburukannya. Nah, lo ngerasa gak kalau keburukannya mungkin juga ada dalam diri lo?

    Dunia itu emang sempit banget! Mau gimana lagi coba? Ketemu sama orang yang nggak pengen lo temui? Anggap aja angin lalu. Lo mungkin inget dia, tapi berdoa aja biar dia nggak inget lo. Biar dia nggak negur lo dan pikiran lo nggak ngumbar ke masa lalu. Atau, ikutin nih cara gue yang satu ini à kalau ketemu sama orang yang nggak pengen lo temuin, pura-pura nggak liat, dan mikir kalau “dia nggak ingat aku. Dia nggak ingat aku. Dia nggak ingat aku.” Setelah itu pasti akan berjalan biasa lagi.

    Rajin-rajin meminta maaf, guys. Mungkin ini bukan pikiran positif à lo mesti mikir, gimana kalau lo akan mati lima menit lagi? atau minggu depan? Atau mungkin besok? Nah. Jangan minta maaf pas lebaran aja. Semua hal-hal kecil yang biasa banget di mata lo, mungkin bisa meyakiti perasaan orang lain. Walaupun lo ngerasa nggak salah, tapi kalau reaksi orangjadi marah gitu, ya, lo wajib minta maaf. JANGAN GENGSI!

    Ngerasa kalau lo nggak dipeduliin? Sedangkan lo rajin peduliin orang? Nah, jangan begitu dong. Maksud gue, jangan berharap kepedulian lo itu dibalas dengan kepedulian orang lain terhadap diri lo. Tapi berharaplah kepedulian lo itu dibalas oleh Yang Maha Kuasa.

    Masalah lagi masalah lagi. Dan kali ini berat banget untuk lo jalani? Well, mungkin menurut lo, lo sendiri banget. Tapi, Tuhan selalu ada buat lo! Inget tuh. Inget semua kebahagiaan yang lo dapet. Itu semua krena izin-Nya. Dan mungkin cobaan dengan masalah yang lo hadapi sekarang, adalah kerikil atau gurun pasir yang harus lo hadapi. Lagian, nggak mungkin dong Tuhan selalu biarin lo bahagia? Enak banget lo! Lagian, hidup apa namanya kalau tanpa masalah? Maka, walaupun lo lagi dalam masalah, tetap bersyukur padanya dan ucapkan terimakasih banyak-banyak *inget kebahagiaan-kebahagiaan lo*. Tuhan pasti bantuin lo kok! Dia kan baik banget, ngasih hal-hal yang buat lo bahagia. Jadi, ingatlah pada Tuhan selalu.

    Kunci untuk memaafkan orang lain adalah: memaafkan diri sendiri dulu. Rajin-rajin ngaca ya. *ups! bukan ngeledekin. Tapi kalau ngerasa, maaf deh*. Inget! à Lo punya banyak kekurangan. Jadi, maafkanlah orang yang buat lo tersinggung, atau patah hati. Baik banget deh lo!

    Jangan lupa, SELALU JUJUR! Gampang kok jadi orang jujur tuh, sumpah. *bukan berarti gue orang yang jujur. Tapi gue mencoba, men.*. Jujur itu banyak mendatangkan berkah! Walaupun lo jujur atas kesalahan lo, tapi lo mesti tanggung jawab. Walaupun akhirnya lo bakal kena ganjarannya. Tapi ya mau gimana lagi. Ambil positifnya aja.

    Jangan terlalu banyak memutuskan kriteria untuk pacar. Yang ini lah, yang itu lah, harus begini lah, harus begitu lah. Sekarang gini deh, menurut lo, dengan kriteria pacar yang lo pengenin itu, lo bakal bahagia? Well, kalau iya, selamat deh. Tapi, yang namanya memutuskan kriteria sih emang boleh. Namun sebaiknya lo liat diri lo dulu deh. Menurut lo, lo pantes nggak dengan orang yang lo pengenin? Lo pantes nggak dengan orang yang lo idam-idamkan? Bukan maksud gue ngerendahin lo, tapi kita harus lebih tahu diri. Dalam masalah apapun, tahu diri itu penting. Dan juga, menurut gue, kriteria yang pantes untuk orang yang pengen lo jadiin pacar adalah : setia, jujur, percaya sama lo. Udah. Setelah lo dapet tuh cowok/cewek, pasti lo bahagia deh. Karena dari ketiga kriteria itu, udah pasti mereka sayang banget sama lo. Sihiiiiy!

    Nah, ini yang gue jarang ketemu di abad 20 ini. MENABUNG! Lo liat nggak orang tua lo kayak gimana? Kalau mereka baik-baik aja, punya banyak duit, dan menurut lo bisa menghidupi lo, oke-oke aja. Tapi apa nggak pernah terlintas di benak lo untuk memenuhi hidup lo sendiri? Walaupun lo masih kecil, tapi itu adalah wujud dari kedewasaan dan kemandirian. Orang tua memang selalu ada tiap kita butuh, tapi sangat baik kalau suatu saat mereka berpaling membutuhkan kita, dan kita bisa membalasnya, melalui uang kita. Nah, pasti kita juga seneng kan liat orang tua kita bahagia?

    Mau nangis, nangis aja, mau galau, galau aja, mau teriak, teriak aja. Nggak apa-apa kok. *kecuali kalau ada tetangga lo yang teriak neriakin lo berisik.* Itu adalah bentuk ekspresi lo terhadap masalah yang lo hadapi. Dan itu wajar dan nggak masalah sama sekali. Tapi lo harus yakin, setelah itu semuanya akan baik-baik aja. Ingat ini à bersakit-sakit ke hulu, berenang-renang ketepian.

    Nah, lo selalu di ledekin childish atau anak-anak? Ya elah. Nih ya, sebenarnya, yang ledekin lo keanak-anakan itu lebih anak-anak dari lo sendiri. Kenapa? Hmm, kenapa ya? Coba lo mikir deh. Lo umur berapa sekarang? Diantara 10 sampai 23? Menurut gue, umur segitu masih labil emosinya dan masih ada sifat kekanak-kanakannya. Nah, orang yang ngejek lo labil, childish, bocah, atau hal sebagainya, sebenarnya nggak bisa mengerti kalau kita masih labil dan butuh di bimbing. Mereka selalu menjelek-jelekkan kita, menganggap diri kita rendah. Mereka itu nggak ngaca. Mereka kira mereka dewasa apa? Dan mau tau, apa arti dewasa itu? Dewasa itu adalah sifat dimana lo mengerti dengan apapun dan mampu menyelesaikannya dengan baik dan benar. Nah, kalau sudah diejek gitu, menurut gue, lo yang harus dewasa. Cukup mikir aja “ya, aku emang masih labil. Aku emang kekanak-kanakan. Terus kenapa?” Nah, menurut gue, itu adalah kalimat yang menggambarkan kalau lo tahu diri dan perlahan lo dewasa karena itu. Lagipula, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kekanak-kanakan. Orang yang tidak mengerti dengan kekanak-kanakan itulah yang tidak dewasa. Maka, berpikirlah dewasa, bukan hanya sekedar berstatus dewasa.


Nah, itulah beberapa saran, kritikan, penjelasan dimata gue tentang beberapa hal yang mungkin mengganggu hidup kita. Maaf kalau kurang berkenaan dengan pendapat lo, tapi itulah yang gue renungkan dan gue mulai mengerti sedikit demi sedikit bagaimana menyelesaikan suatu masalah dengan benar. Lo nggak perlu kok ikutin saran-saran gue ini. Cukup renungin sendiri dan berpikir jernih aja, lo pasti dapet penyelesaian masalah lo sendiri.

Selebihnya, pastikan kalau pikiran lo selalu jernih dan hilangkan energi negatif setiap lo punya masalah. Bukan berarti lo menyepelekan masalah lo. Tapi selalulah percaya bahwa, semua akan baik-baik saja.

Saran yang lain sih, saat lo banyak masalah, banyak-banyak tarik nafas, dan tersenyum. Tinggalkan kesan kalau lo itu kuat untuk menghadapi masalah lo. Dan lo pasti bisa!

Kayaknya segitu aja deh postingan gue tentang renungan gue ini. Semoga bisa lo terima dan bermanfaat. See you next post and happy reading ^^

Miris

Café Hot Tea ini sudah ramai pengunjung sejak sejam yang lalu karena hujan lebat yang belum juga berhenti. Anggi yang saat itu kedinginan di luar, membuka payungnya dan masuk ke dalam. Ia tersenyum melihat seorang lelaki yang baru dikenalnya tiga tahun ini tapi sudah akrab sekali dengan dirinya. Bagaikan kakak adik.

“Hai, Fan!”sapanya sambil mendekati meja Fandi.

Fandi menoleh. “Hai juga, Nggi.”

Anggi mengambil tempat duduk di depan Fandi. “Dingin banget di luar. Udah hujan, angin kencan lagi. Padahal tadi aku mau ke pantai. Brrr.”Anggi mengusap-usap telapak tangannya.

“Dingin ya? Ini, pakai jaketku.”Fandi membuka jaketnya dan menyodorkannya pada Anggi.

Anggi menerimanya dengan senang hati, lalu dipakainya jaket kulit cokelat itu. “Heh? Makasih ya. Hmm, hangat!”

“Sama-sama.”

Anggi merasakan sesuatu yang aneh. Wajah Fandi terlihat murung sekali. “Kok lesu gitu? Sakit? Ini, kamu aja deh yang pakai jaketnya. Aku jadi ngak enak.”Anggi mulai membuka jaketnya. Tapi tidak jadi karena Fandi mencegah.

“Eh, bukan. Aku nggak sakit kok.”

Seorang pelayan datang sambil membawakan daftar menu. Setelah Anggi memesan teh lemon panas, pelayan itu pergi. Anggi melihat cangkir Fandi yang sudah kosong. Sepertinya Fandi sudah lama berada disini.

“Jadi? Hmm, kamu lagi galau ya?”Anggi mulai membuka percakapan.

“Hm. Mungkin.”

Anggi teringat pacar Fandi. “Oh, ada masalah sama Reisa?”

Fandi menggeleng.“Tidak ada.”

Anggi mengernyit. “Lalu?”

“Aku mengingat Efraim.”katanya datar.

Mengerti perasaan Fandi, Anggi cepat-cepat minta maaf. “Oh, maaf. Aku tidak tahu.”

Fandi tersenyum sedikit. “Tidak apa-apa.”

Hening sesaat sebelum akhirnya Anggi bertanya hal yang konyol. “Hmm, Efraim itu, baik ya?”

“Lebih dari baik. Sahabat satu-satunya yang aku punya.”

Anggi mengingat pemakaman Efraim satu bulan yang lalu. Dan ia ingat mata Fandi yang sempat sembab saat Anggi ke rumahnya. “Kamu bisa cerita ke aku tentang Efraim kalau kamu mau.”

“Kamu tidak keberatan?”

Anggi tersenyum. “Tentu saja tidak. Silahkan.”

Fandi membiarkan pelayan menaruh lemon tea panas dihadapan Anggi sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku, kenal Efraim sejak lima belas tahun yang lalu.”

“Wow. Kalian tetanggaan?”Anggi meniup-niup teh panasnya.

“Ya, bisa dibilang begitu. Sejak itu kami selalu satu sekolah. Sampai sekarang.”mata Fandi menerawang ke jendela luar café. Masih hujan dan angin masih juga kencang.

“Oh, lalu? Apa kenangan yang paling berkesan darinya?”

“Hm, dia memberikanku kesempatan untuk mencintai orang yang paling dicintainya.”

Anggi membelalak. “Reisa?”

“Ya.”

Anggi baru tau. Lalu ia sembunyikan rasa terkejutnya. Ingin tahu, ia bertanya lebih dalam lagi. “Kenapa dia berikan Reisa padamu?”

“Menurutnya, aku orang terbaik untuk Reisa.”

Melihat wajah Fandi yang semakin murung, Anggi mencari-cari celah untuk menghibur Fandi. “Memangnya, dia kenal Reisa darimana?”

Melihat Anggi yang kepanasan karena tehnya, Fandi tersenyum. “Kami bersekolah di SMP yang sama. Lalu, kami bertiga jadi sahabat.”

“Hm, lalu, apakah kamu dengan begitu saja menerima tawarannya untuk mencintai Reisa?”Anggi mengambil bungkusan gula dan membukanya.

“Tentu saja tidak.”

“Bagaimana dengan Reisa?”

“Dia juga awalnya menolak.”

Sedih sekali, pikir Anggi. “Lalu kenapa kalian bisa pacaran?”Anggi mengaduk-aduk tehnya.

“Karena kami sudah berjanji.”

“Di depan Efraim?”

“Ya.”

“Disaat-saat terakhirnya?”

“Ya.”
Anggi terdiam lagi. Sungguh sulit untuk berada di posisi Fandi disaat detik terakhir sahabatnya pergi. Lalu sebuah pertanyaan muncul di benaknya.“Apakah kamu mencintai Reisa?”

Fandi diam. Lalu berpaling ke mata Anggi yang penuh rasa ingin tahu. Dan dengan tegas berkata “Tidak.” Lalu meminum tehnya yang sudah dingin.

“Bagaimana dengan Reisa?”

“Dia juga tidak bisa mencintaiku.”

Anggi jadi mengerti perasaan mereka. “Demi Efraim, kalian rela berpacaran tanpa saling mencintai dan bahagia.”

Fandi melihat ke luar jendela lagi. “Asal Efraim bahagia, itu sudah cukup membahagiakanku.”

Anggi mengaduk-ngaduk teh hangatnya. “Aku rasa, Efraim tidak bahagia.”

Fandi berpaling. “Kenapa?”

“Kamu bahagia jika melihat Efraim bahagia. Menurutku, Efraim juga akan bahagia jika melihat kamu bahagia. Dan orang yang dicintainya juga bahagia.”
“Tapi itu permintaannya.”pikiran Fandi pergi ke hari kematian sahabatnya lagi. Perasaan sedih dan kecewa datang lagi.

“Tapi kalian tidak bahagia. Terkurung dalam janji mati.”

Fandi menghembuskan nafas kecewa. Itu memang benar. “Lalu aku harus bagaimana?”

“Aku rasa, Efraim akan bahagia melihatmu bahagia dengan caramu sendiri. Hanya kamu yang tahu bagaimana caranya.”

“Bagaimana dengan Reisa?”

“Kamu tadi bilang dia tidak bahagia bersamamu.”

“Tapi aku nggak mungkin membiarkannya sendirian.”Fandi merasa bersalah.

Anggi mencoba meyakinkan. “Kalian tetap sahabatan kan?”

“Tapi…”

“Aku tidak menyuruh kamu tidak menepati janjimu. Tapi berpikirlah lebih jauh. Aku rasa Efraim sudah menyesal disana.”

“Kamu tidak tahu rasanya kehilangan.”

Anggi memegang tangan Fandi yang dingin dan menatap matanya. Berusaha menghiburnya, Anggi berkata, “Ya, aku memang tidak tahu. Tapi aku mengerti.”

Fandi melihat telapak tangan Anggi yang melingkari tangannya dan tersenyum. “Mungkin kamu benar.”

“Reisa masih mencintai Efraim bukan? Dimana-mana, kalau wanita dipaksakan mencintai orang lain, apalagi karena janji, dia pasti sakit hati. Pikir di kedua pihak, kamu dan Efraim. Kalian akan bahagia jika saling bahagia. Dia bahagia melihatmu bahagia dengan orang yang kamu cinta, dan pasti juga bahagia melihat Reisa tidak sakit karena harus terpaksa mencintai kamu. Biarkan Reisa terus mencintai Efraim.”Anggi tersenyum.

Mendengar perkataan Anggi, Fandi mulai berubah pikiran. Tiba-tiba saja Fandi menunduk.“Tapi sebenarnya ada masalah lain.”

Anggi melepaskan genggamannya. “Apa?”

“Aku mencintai orang yang salah.”

Anggi meminum tehnya. “Kenapa harus salah?”

“Dia sudah termiliki.”lirih Fandi.

Anggi melihat kekecewaan di mata Fandi. “Sayang sekali. Tapi mencintai seseorang tidak pernah salah. Kalau begitu tunggu saja.”

“Sampai kapan? Aku tidak mau punya harapan semu.”

“Kalau begitu, biarkan dia tahu kamu mencintainya.”

Fandi tersentak. “Untuk apa?”

“Memangnya mencintai harus memiliki?”

Fandi menggeleng lemah. “Aku nggak tahu.” Dia menunduk lagi.

“Mencintai nggak harus memiliki, Fan. Cukup mengungkapkan perasaan kamu dengan orang yang kamu cintai, sudah sedikit membahagiakan dirimu sendiri. Walau itu mungkin nggak akan mengubah apa-apa, tapi kelegaan tersendiri bisa jujur dengan diri sendiri dan dengan orang yang kamu cintai.”

“Lalu setelah itu aku harus bagaimana?”

Life must go on. Seperti kamu dan Efraim, kamu harus bahagia melihat orang yang kamu cintai bahagia.”

Fandi menoleh ke mata Anggi. Anggipun begitu. “Cinta itu butuh pengorbanan, Fan.”lanjut Anggi lagi.

Fandi tersenyum. “Sepertinya aku mencintai orang yang benar.”

“Loh, kenapa berubah pikiran?”Anggi bingung.

“Karena dia sudah lebih dulu mengubah pikiranku.”Fandi tersenyum penuh makna ke arah Anggi.

Anggi benar-benar tak mengerti dan penasaran. “Memangnya kamu mencintai siapa?”

“Hai, Anggi.”sesosok pria dengan sweater biru dan celana panjang hitam menghampirinya sambil tersenyum.

“Oh, hai sayang.”Anggi balas tersenyum lalu mempersilahkan pacarnya duduk di sebelahnya.

“Sudah lama menunggu?”Tanya Doni, pacar Anggi.

“Tidak juga. Untung ada Fandi disini.”

Doni tersenyum kea rah Fandi. “Makasih ya, Fan.”

“Sama-sama, Don.”

“Hmm, hujannya udah reda loh, Nggi.”lanjut Doni lagi.

Anggi lalu dengan cepat menghabiskan tehnya. “Oh iya. Aku sampai lupa waktu. Ya sudah. Fandi, aku pergi dulu ya. Jangan kelamaan disini loh. Tapi kalau mau melihat-lihat cewek cakep sih nggak apa-apa. Haha.”Anggi dan Doni berdiri.

Fandi ikut tertawa. “Anggi?”panggilnya lagi.

Anggi berhenti berjalan lalu menoleh ke arah Fandi “Ya?”

“Aku rasa kamu benar. Aku harus menunggu.”Fandi tersenyum.

Anggi tersenyum ramah. “Bye bye Fandi.”Anggi melambai ke arahnya.

“Mengangumi tanpa dicintai.”lirih Fandi melihat kepergian Anggi yang tersenyum dengan pacarnya Doni sambil berlari-lari kecil menuju mobil mereka.

Lalu Fandi mengambil handphonenya dan menekan sebuah nomor handphone.

“Reisa, aku rasa kamu lebih bahagia untuk terus mencintai Efraim. Bisakah kita menjadi sahabat saja? Aku sudah tahu aku mencintai siapa sekarang. ”lalu Fandi tersenyum melihat Anggi yang melambai ke arahnya sebelum masuk ke mobil.

Tuesday 19 April 2011

Gambar iseng







gambar-gambar gak jelas dari saya. malu upload di facebook, jadi share di blog aja. hehe. banyak banget kekurangannya, tapi saya tidak terlalu berminat untuk memperdalaminya. ini hanya sekedar hobby iseng aja. hehe.

Knock Knock, Lenka

A second, a minute, an hour, a day goes by
I'm hopin' just to be by your side
I'm turnin' the handle, it won't open
Don't make me wait 'cause right now I need your smile
Knock, knock

When life had locked me out I turned to you
So open the door
'Cause you're all I need right now, it's true
Nothin' works like you

Little louder, little louder
Little louder knockin'
Little louder, little louder

A warm bath, a good laugh, an old song that you know by heart
I've tried it but they all leave me cold
So now I'm here waitin' to see you
My remedy for all that's been hurtin' me
Knock, knock

When life had locked me out I turned to you
So open the door
'Cause you're all I need right now, it's true
Nothin' works like you

You seem to know the way
To turn my frown upside down
You always know what to say
To make me feel like everything's okay

Little louder, little louder
Little louder knockin'
Little louder, little louder
Little louder knockin'

Little louder, little louder
Little louder knockin'
Little louder, little louder

When life had locked me out I turned to you
And you open the door
And you're all I need right now, it's true
Nothin' works like you

When life had knocked me down I turned to you
And you open the door
And you're all I need right now, it's true
Nothin' works like you
Nothin' works like you

When life had locked me out I turned to you
And you open the door
And you're all I need right now, it's true
Nothin' works like you

Friday 8 April 2011

Kau berlari ria

Kencang bagai topan

Kau berkata-kata

Membaca langit, meraba rumput

Lalu kau lepas layang-layangmu

“Pergi jauh! Pergi ke tempat kau bahagia.”

Lalu kau bersimpuh

Menangis tanpa ampun

Sesalmu tak guna lagi

Layangmu telah kau lepas pergi

Bersenda tawa dengan topan yang kau buat

Hilang semangatmu, datang dambamu

Kau rindukan layang-layangmu

Tak tahan melihatnya tersenyum, kau juga ingin seperti itu

Bebas tak terikat

Senyum tak terpaksa

Matamu tajam, sorotnya seakan pisau yang diasah

Aku geram, menendang perasaanku jauh dari tempatnya

Aku muak, menampar pikiranku untuk tidak memikirkannya

Tapi otot-otot di bibirnya itu, menghancurkan jiwa

Meleleh hatiku dibuatnya

Lebur, tak kuat aku mengembalikannya jadi beku

Lilinku sudah habis, tak bersisa, tak bercahaya

Tak ada yang menyadarkanku kini

Aku terjerembab dalam angan

Tentangmu, bahasamu, semuanya

Hal tentangmu yang sebanarnya adalah semu

Tak berbayang, tak tersentuh

Tak beraroma, tak bernyawa

Aku takut, bimbang dan gelisah

Adakah aku di batinmu?

Adakah namaku di bukumu?

Adakah aku dihatimu?

Kamu hanyalah kisah fana

Abadi dan susah dijelaskan

Dan kamu, bagian dari aku

Berterimakasihlah karena itu

Kemari, peluk aku

Rasakan godaan demi godaan, bisikan demi bisikan, hembusan demi hembusan

Cinta

Ragamu, nyawaku

Satu.

Hari Jingga

Habis, sesak, tamat, menang. Tak goyah kau tumbangkan beribu tiang kokoh dalam batinku. Kau memelas sedih, memohon dan hampir bersujud untuk memintaku kembali ke sisinya. Peduli apa dia denganku? Lirik saja sedikit aku, dia langsung berpaling. Aku ini apa? Terbuang, tak guna, tak punya daya. Lalu sekarang kau kembali. Berkata kau akan meringankan semuanya.

“Aku janji. Asal kau mau bersamanya lagi. Aku janji, setelah kau tiada, aku akan meluruskan semuanya.”

Cih. Mengharap sekali kau?pikirku.

“Aku yang seharusnya meminta sesuatu sebelum aku pergi. Bukan kau.”kataku.

Dia mengambil nafas panjang. Memandangku lekat-lekat. Menggenggam telapak tangan kananku yang basah. Sekali lagi ia bernafas. “Kau, memang keras kepala.”

“Aku sudah tak tahan. Dia selalu memandangku kecil. Aku hanya tak ingin, berbagi semua yang aku panggil kenangan dengannya. Dia bukan siapa-siapa. Sayangnya, ia punya status sedarah denganku.”

Dia menunduk. Lemas, tak berkutik. Entah kata apa yang terlintasnya selain keras kepala. Ya, aku memang begini. Lalu kau mau apa?

“Permintaanku tak besar kan?”tanyanya lagi.

Aku mengangguk. “Bagaimana dengan permintaanku?”bantahku.

“Permintaanmu tak besar. Hanya berat. Bagiku, baginya. Apa kau yakin, kau tak akan menyesal ketika kau disana? Aku hanya ingin kau tenang.”

Kulepaskan genggamannya. Ku jauh. Aku mulai memandang lautan dengan burung-burung kecil, biru muda, dan awan putih di depanku. “Aku memang takut.”gusarku.

“Lalu, penuhi permintaanku.”katanya sambil ikut memandang bulatan besar bercahaya jingga.

“Aku ingin bahagia. Tapi bukan dengannya. Bukan dengan semua tindakannya. Bukan dengan semua kenangan kasar dan berduri.”kataku.

Dia tertunduk lagi. Aku tahu, diam-diam dia melirikku. “Seakan kau egois. Tapi kau tidak begitu.”katanya lagi.

“Bagaimana kau tahu? Bahkan aku sadar aku sekarang jadi iblis.”

Aku memandang bola mata hitam pekat dengan sentuhan rambut lurusnya yang agak panjang. Garis bibirnya melengkung. “Kau mencintaiku.”katanya.

Wajahku tetap datar. Nafasku tak terasa berat. Mulutku tetap rapat. Tapi jantungku menggebu. “Tidak.”jawabku.

“Bagaimana kau tahu?”tanyanya.

Sejujurnya aku tak punya jawaban. Aku tak tahu apa yang ia lihat dari korneaku. Tapi aku tak mencibir, bahkan tak berpaling. “Kau yang memaksaku agar aku menurutimu. Dan aku benci. Aku tak cinta kau lagi.”

“Kau tahu? Hidupmu sempurna, sayang.”dia tersenyum.

Aku diam. Merenung diantara sebuah demi sebuah angin yang berhembus dengan irama kendaraan yang mulai memenuhi jalan. Bising, gaduh, terlihat jenuh, dan terpaksa. Kotaku, malangku.

Aku kembali ke masanya. Masa dimana ia dengan mudahnya mengacungku. Seharusnya aku, aku yang dikasihani. Bukan dia. Bukan Romi. Tapi aku, Rima.

Terusikku oleh sorot matanya. Dia memelas lagi, dan aku benci. Jujur, aku tak mengerti. Kenapa harus ia? Kenapa bukan aku? Kenapa sayang dia? Kenapa tak sayang aku? Kenapa melihat ke dia? Kenapa tak ke aku?

“Rima…”lirihnya. “Sepertinya aku harus jadi kau.”katanya lagi.

Aku masih menunduk. Sesak ku datang lagi. Terasa sebuah denyut.

“Kenapa? Sakit?”tanyanya saat melihat aku meringis.

Aku menggeleng. “Kau mau bilang apa?”

Dia menenggok sirup manis dari botol. Tinggal sedikit lagi sebelum sirup tak tersisa. Baru aku sadar, ternyata sudah lama kami duduk di bangku ini. Matahari juga mulai sembunyi. Dan aku paling tidak suka saat-saat seperti ini. Mau gelap, dan sebentar lagi langit tak benyawa. Tak berwarna, tak biru.

“Aku sepertinya harus menjadi seorang kau.”

Lukaku berdenyut lagi. Sakit. Lumayan perih. “Memang kenapa?”tanyaku. Kali ini aku tak meringis.

Dia memandang lurus ke pinggir dimana air mulai surut. Lurus ke derai ombak yang mulai pelan. “Kau menderita.”katanya.

Iya, batinku. Tapi aku ingin terus begini. Ingin terus merasakan dan menikmati. Karena setelah ajalku, aku akan bahagia, disana. Bagaimanapun caranya, aku akan tetap hidup. Barlanjut disana. Dan disana, aku takkan sakit. Aku takkan perih.

Aku ingin terus begini. Disayangi, tanpa dikasihani. Karena itu adalah palsu dan buatan, jika Romi mengkasihani aku. Dan aku sebal, jika dia mulai seperti sosok begitu.

“Dia sama seperti kau. Bersakit-sakit dahulu, berenang-renang ketepian.”katanya.

“Tidak.”aku menggeleng lemah. “Dia sama sepertimu. Kuat, dan sangat kuat. Bukan aku.”bantahku.

Burung-burung mulai bersembunyi. Kembali ke rumahnya, dan tidur bersama anak-anaknya. Matahari mulai tenggelam, tak dapat di tolong. Sedih aku merasakannya. Hari berganti kelam.

“Maaf, sayang.”katanya.

Tak perlu. Sungguh, aku tak memerlukannya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin bersendiri. Mungkin juga sendiri bersamamu. Tapi kau tak salah, kau tak dosa.

“Kau benar. Dia seharusnya mirip denganmu. Tapi ternyata, dia mendidikku untuk seperti dirinya. Tapi aku tidak kejam, tidak kasar, dan tidak suka bertentangan denganmu…”

Aku berusaha untuk tidak mendengar, atau berpura-pura mendengar alunan ombak yang memelan dan suara angin yang halus bagai melodi piano. Tapi tetap saja, aku terpacu untuk terus mendengar semua bisikannya. Bisikan tanpa irama tersayat atau terjepit. Datar, seakan dia tak sedang bercerita tentangku.

“Aku benar kan? Maksudku, aku tidak persis dengannya bukan? Harusnya kau yang sama sepertinya. Sosok yang kuat, teguh, pantang mundur. Mungkin aku yang salah karena telah membuatmu begitu tak percaya dengan apa yang ku sebut anugerah.”ceritanya lagi.

Anugerahku, adalah ajalku. Anugerahku, adalah pantaiku. Anugerahku, adalah kau. Untung kita tak sedarah. Bagaimana jadinya kalau kita seperti itu? Kau akan mirip dengannya, dan kita akan selalu perang. Tapi untung saja tak begitu.

“Jika kau jadi aku, kau tak akan sakit. Jika kau jadi aku, kau tak akan pedih. Jika…”

“Jika aku jadi kau, aku akan pergi. Jauh, melancong menuju bukit bunuh diri.”potongku cepat.

Romi menggeleng. “Jika kau jadi aku, kau tak akan melakukannya. Percayalah. Karena semua kasih sayangnya, hanya untukku. Bukan untukmu, sayang.”ia mencibir.

“Kau tahu itu. Lantas, kenapa kau masih mengatakannya? Aku memang tak ingin dikasihani. Tapi jagalah hatiku, untuk saat ini.”aku menunduk. Berharap bahwa dia benar-benar mengerti apa yang ku sebut saat ini.

Romi tersenyum sambil menghapus peluhnya. “Jangan salahkan aku. Kau yang ingin sakit, bukan aku. Jika aku menambah paku di dadamu, mungkin aku bisa sedikit membantumu, untuk bahagia. Sebelum kau pergi.”

Panas kupingku mendengarnya, tapi kucoba untuk mengubahnya jadi dingin. Dan berhasil. Aku meredam emosiku yang labil. Tapi dia tersenyum, itu yang buat aku tak tahan. Tapi dia benar, seratus persen benar.

“Dia membesarkanku penuh dengan kasih sayang, tawa, dan senyum. Ingatkah kau saat ia menggendongku dan ia meninggalkanmu menangis karena kau juga ingin seperti aku? Aku ingat. Dulu, waktu aku tak sengaja buat kau menangis karena aku dibela olehnya, aku mengurung diri dalam kamar dan menyalahkanku sendiri…”

Dia berhenti sejanak, tersenyum lagi melihat pipiku yang basah. “Apa sudah merasa lebih baik? Lebih sakit maksudku.”

Aku menghapus air mataku. “Kau begini untuk menghilangkan rasa sakitku. Membuatku untuk terus tertusuk paku oleh palumu, orang yang paling kusayang. Hingga aku berteriak, dan mengkoar kalau aku tak ingin seperti ini. Sakit begini. Iya kan?”

Dia menggeleng. “Bukan. Bukan itu. Kau tahu bagaimana rasanya sakit itu. Dan ini aku akan berbagi rasa sakitku juga. Aku tak tahan mengurungnya terus.”

Dia mengambil nafas panjang. Lalu lanjut berdongeng ria lagi. “Lalu saat masa SMA-ku tiba, aku bingung. Serasa buta karena aku tak mampu melihat cewek cantik dan menggoda. Tak ada gairah untuk bercinta. Sedikitpun tak ada. Kadang, aku merasa sedih juga, karena aku harus selalu menahan rasa cintaku padamu. Karena tekanan dirinya…”

Dia memandang ke arahku. “Dia bilang, jangan pernah ku kasihi kau. Kalau sampai begitu, dia takkan menganggapku ada.”

Benar kan? Dia benci aku. Aku mengangguk. Dadaku sesak lagi. Tapi kutahan. “Lanjutkan.”

Sekarang gelap. Benar-benar gelap. Hanya cahaya lampu pinggir jalan yang bersinar dan berakting seakan ia matahari. Orange, bukan jingga yang aku lihat. Menyinari malam pekat, gelap. Tanpa bintang, tanpa bulan. Tanpa awan, tanpa burung. Tapi ada angin. Walau melodi sudah berubah menjadi lebih dingin dan membeku. Seperti hatiku.

“Cintaku hanya untuk…”dia berhenti. Seperti sedang berpikir sesuatu, entah hal logika apa itu.

Lalu ia menatapku. Tapi aku mulai tak bisa melihatnya karena kelam mengancam mataku. Tapi aku bisa menatap senyuman itu. “Untuk seorang yang putus asa.”

Salah. Aku berjuang, selalu berjuang untuk terus merasa begini. Tenang, sendu, damai, dan senyum. Sakit, derita, dan pedih ku nikmati. Aku berjuang, sungguh.

“Walau kau tak ingin aku kasihi, dan dia juga tak ingin aku mengkasihimu, tapi dari hati yang paling dalam, aku selalu begitu. Tidakkah kau melihat tatapan iba dariku saat ia mengacuhkanmu? Benar. Aku selalu bersembunyi di balik pintu dan menangis. Kau tak pernah tahu itu.”

Aku mendongak ke langit. Benar-benar pekat, seperti hatiku. Ku cium aroma hujan akan datang. Aku merasakan sesuatu yang aneh akan terjadi, entah apa itu. Yang jelas aku takut.

“Aku terus mencintaimu. Setiap detik, denyut, dan kedipan mataku. Setiap hembusan nafas, tawa, tangis, gerakan jemari dan anggukan kepala. Tak peduli apa katanya. Aku terus dan terus tak pernah berhenti merasakannya. Kamu, engkau, anda, Rima.”

Kini tanganku digenggam lagi. Aku tak berani menoleh kearahnya. Aku takut air mataku mencuat keluar.

“Dan aku sudah mengatakannya, aku sudah menunjukkannya, aku sudah melakukan semuanya. Aku dulu berharap, kau berubah. Untukku, bukan untuk siapapun. Demiku, demi ibu. Aku ingin kau berubah. Diam, tersenyum, ceria, apapun itu. Tapi ternyata tidak. Kau sama sepertinya. Kau sama kuatnya, dan teguh bagai batu yang terus disambar ombak dan panasnya terik matahari. Kuat, tak goyah. Dan aku menyerah…”

“Dan kali ini, aku mohon. Bukan hanya kau yang akan pergi. Tapi dia juga. Setiap saat ia menyebut namamu, berharap kau disampingnya. Ia benar-benar menyesal, Rima. Sungguh, kali ini aku tak sedang berdusta.”

Ia menunduk. Aku tak tahu, tapi suaranya terdengar samar dan terisak. “Tolong, Rima. Walau dia lebih menyayangi aku daripada kau, tapi sesungguhnya dia tak begitu. Walau ia membenci kau karena ibu telah tiada, sungguh dia sebenarnya benci dengan dirinya sendiri. Setiap detik, dia selalu melihat ibu dimatamu. Melihat ibu di gerak-gerikmu. Dan dia melampiaskan semuanya kepadamu, tanpa sengaja, karena ia membenci dirinya sendiri…”

Kali ini kami berdua sama-sama menangis. Aku tak bisa berkata apa-apa. Kini aku kecut.

“Jantungnya mulai lemah, Rima. Tolong. Beri ia kesempatan untuk meminta maaf kepadamu. Dia ayah kandungmu, Rima. Apa kau tidak mau berada disampingnya saat-saat ia seperti ini? Sedangkan aku yang bukan anak kandungnya, bersimpuh di depanmu, memohon agar kau kembali ke pelukannya sekarang. Hanya untuk saat ini saja, Rima…”

Romi diam tak bergerak merasakan tubuhku yang mulai gemetar. Aku hilang kendali. Mataku buram, semuanya tak jelas. Tubuhku tiba-tiba saja melemah. Kurasakan tetesan darah keluar dari rongga hidungku.

“Rima! Tolong, Rima! Bertahan!”

Sesak, gemetar, berdebar. Ku lihat gelapnya malam berubah menjadi putih terang dan aku tak tahu aku dimana. Terang, terang sekali. Ia semakin dekat hingga semua kelam pudar. Tak ada suara penghuni jalanan, ombak, dan angin yang mengadu. Tak ada tatapan sayang dan kasih itu. Tak ada sosoknya lagi.

Tapi aku masih berdetak. Sekali lagi, mungkin ini saatnya. “Sampaikan salamku untuk ayah, Romi. Jaga ia baik-baik. Aku mencintaimu.”

Tak terdengar suara. Hening. Aku terus berjalan ke ruang penuh dengan cahaya putih nan indah itu. Sepi, tak ada orang. Sunyi, tak ada bunyi.

Hingga akhirnya ku melihat dua sosok orang yang ku kenal dari dulu. Kerut itu, senyum itu, dan kulit itu. Ibu dan ayah.

Aku benar, kini aku tak merasa sakit lagi. Hanya senyum bahagia dan pipi yang merona karena pelukan mereka berdua. Aku tak percaya. Seorang yang harusnya ku benci menggenggam erat tanganku penuh cinta. Menatapku penuh bangga.

Kini kutemukan anugerahku. Kini kutemukan sosok ayah yang benar-benar aku inginkan, yang benar-benar aku cintai. Yang belum pernah ku temui di dunia.

“Maafkan ayah. Ternyata tadi ayah sudah lebih dulu pergi ke sini. Ayah kira, ayah tidak bisa meminta maaf padamu. Tapi Tuhan mempertemukan kita disini. Bahagia lagi.”

Aku tersenyum lalu memeluk ayahku hangat. Bahagia sekali rasanya memafkan dan dimaafkan. Bahagia sekali rasanya dicintai oleh orangtuamu sendiri. Lalu pandanganku menerka-nerka apa yang terjadi pada Romi kini, kakak terbaikku.

Tapi pastinya ia sedang tersenyum. Mendongak ke langit dan melambaikan tangan ke arahku. Pasti akan kurindukan sosok pahlawanku itu. Kakak yang hampir berhasil memecahkan tembaga di relung hatiku. Kakak yang hampir berhasil membuatku hanyut dan melakukan keinginannya. Untuk berada di samping ayahku disaat hari-hari terakhirnya.

DiPemakaman.

Tepat diantara batu nisan Guntoro Datri dan Riana Datri, terbaring Rami Putri dengan tanah yang masih baru, sama dengan kuburan ayahnya. Tak Romi kira setelah Rami pergi dari pelukannya dan tak bernafas, papanya juga ikut naik keatas.

Guntoro Datri, adalah sosok laki-laki tua yang selalu tersenyum dan membahagiakan Romi sejak Romi diambil dari jalanan dan sampai sekarang. Romi selalu menjadi pusat perhatian dan pusat kebahagiaan Guntoro. Selain Romi, Guntoro sebenarnya mempunyai anak perempuan kandung, yang diberi nama Rami Putri. Sayangnya, tepat setelah kelahiran Rami, orang yang paling disayangi Guntoro, Riana Datri, pergi meninggalkannya karena dipanggil Yang Maha Kuasa.

Sejak itu, Guntoro tidak pernah menerima Rami sebagai anak kandungnya. Ia malah menganggap Romi sebagai anak sedarah yang ia punya.

Tekanan batin yang dialami Rami sangat besar. Merasa tak adil, itulah yang dirasakannya. Diacuhkan dan tidak pernah dielu-elukan oleh ayahnya sendiri. Hingga akhirnya ia mengetahui bahwa ia akan pergi dari dunia ini karena penyakit kanker paru-parunya yang tak bisa diselamatkan lagi. Rami bahagia, karena ia pikir ia takkan merasa sakit karena perlakuan ayahnya lagi setelah ajal menjemputnya. Ayah yang tak pernah memperhatikan Rami walau Rami mengidap kanker. Tapi Rami tak pernah tahu, bahwa ayahnya juga sakit sepertinya. Jantung ayahnya melemah sejak sepuluh tahun yang lalu.

Kini Romi bersimpuh diantara kuburan ayah tirinya dan adik yang sangat dicintainya. Bukan menangis, Romi malah tersenyum tabah dan ikhlas.

“Bagaimana disana, Rami? Kau tidak sakit lagi kan? Aku juga senang mendengarnya. Ayah, apa sudah minta maaf kepada Rami? Kuharap begitu, Yah. Aku tahu sebenarnya ayah dari dulu ingin melakukannya.”

Romi tersenyum. Ia mendongak ke langit jingga bercampur biru teduh di atas. Tersenyum kepada adik dan ayahnya. Tersenyum bahagia sekali.